Aqiqah Salatiga
Seputar Aqiqah
Dalam bukunya "Hukum Qurban, Aqiqah dan Sembelihan", KH. Abdurrahman memaparkan bahwa di sebagian kalangan ada yang menimbang rambut bayi itu dengan emas, maksudnya adalah agar lebih banyak lagi sedekahnya. Karena dalam hal bersedekah, lebih banyak adalah lebih baik.
Upacara pemotongan rambut akan
dilanjutkan dengan prosesi pemberian nama bayi. Islam menganjurkan agar
diberikan nama yang sebaik-baiknya. Dan, jika perlu pemberian nama ini
diumumkan kepada masyarakat sekitar.
Pemberian nama yang baik untuk anak-anak menjadi salah satu kewajiban orang
tua. Di antara nama-nama yang baik yang layak diberikan adalah nama Muhammad.
Sebagaimana sabda beliau, Dari Jabir RA dari Nabi SAW, beliau bersabda,
"Namailah dengan namaku dan janganlah engkau menggunakan kunyahku."
(HR Bukhari dan Muslim)
Perihal pemberian nama anak ini, terdapat sejumlah nash syar'i yang menyatakan
bahwa ada kaitan antara arti sebuah nama dengan yang diberi nama.
Ibnu Al-Qoyyim berkata, "Barang siapa yang memerhatikan sunah, ia akan
mendapatkan bahwa makna-makna yang terkandung dalam nama berkaitan dengannya
sehingga seolah-olah makna-makna tersebut diambil darinya dan seolah-olah
nama-nama tersebut diambil dari makna-maknanya.
Kenapa Pilih Aqiqah Nurul Hayat
1. Pilihan hewan, proses
penyembelihan dan masak dijamin memenuhi syarat sahnya Aqiqoh dan telah
tersertifikasi HALAL dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan Dinas Kesehatan
dengan nomor : 503.443.51/JB-08618/436.6.3/VIII/2012.
2. Kami menyediakan hewan mentah atau sudah diolah
menjadi masakan sate, gule, krengsengan dll (DIANTAR GRATIS).
3. Kualitas dan rasa masakan terjamin karena dikelola
dan dimasak oleh juru masak yang berpengalaman
4. Aqiqah Anda Insya Alloh berkah karena di sini anda
sekaligus bersedekah (setelah dikurangi biaya operasional keuntungan dari usaha
ini digunakan untuk mendukung program beasiswa tiap semester 4500 anak yatim).
5. Pemesan mendapat 50 eksemplar Risalah Aqiqoh dan
untuk Tasyakuran akan mendapat 50 eksemplar Risalah Do’a.
6. Dibantu mendistribusikan ke panti-panti asuhan dan
desa untuk support program dakwah.
Berpengalaman dan telah dipercaya puluhan ribu
pelanggan. Membantu ibadah Aqiqoh ummat lebih dari 2500 kambing setiap
bulannya.
Pengertian Aqiqah
Ubaid Ashmu’i dan Zamakhsyari mengungkapkan bahwa menurut bahasa, aqiqh artinya rambut yang tumbuh di atas kepala bayi sejak lahir. Sedangkan menurut Al-Khathabi, aqiqah ialah nama kambing yang disembelih untuk kepentingan bayi. Dinamakan demikian karena kambing itu dipotong dan dibelah-belah. Ibnu faris juga menyatakan bahwa aqiqah adalah kambing yang disembelih dan rambut bayi yang dicukur.
Adapun dalil yang menyatakan bahwa kambing yang disembelih itu dinamakan aqiqah, antara lain adalah hadits yang dikeluarkan Al-Bazzar dari Atta’, dari Ibnu Abbas secara marfu’ :
“Bagi seorang anak laki-laki dua ekor aqiqah dan anak perempuan seekor”.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan aqiqah adalah serangkaian ajaran Nabi Saw untuk anak yang baru lahir yang terdiri atas mencukur rambut bayi, memberi nama dan menyembelih hewan.
Hewan Untuk Aqiqah
- Hewan sembelihan aqiqah boleh dengan kambing (boleh jantan maupun betina), domba. Tidak sah aqiqah jika dilakukan dengan hewan selain diatas, seperti ayam, kelinci, atau burung.
- Hewan aqiqah harus dalam keadaan sehat, tidak boleh ada cacat dan dalam keadaan sakit.
- Hewan aqiqah harus merupakan hewan yang sudah layak disembelih seperti mana halnya kurban. Jika kambing, maka minimal sudah berusia satu tahun.
- Disunnahkan dimasak terlebih dahulu.
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam memerintahkan mereka aqiqah untuk anak laki-laki dua kambing, dan anak
perempuan satu kambing". [HR At Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Ketentuan kambingnya disini tidak dijelaskan jenisnya,
harus jantan atau boleh juga betina. Namun para ulama menyatakan, bahwa kambing
aqiqah sama dengan kambing kurban dalam usia, jenis dan bebas dari aib dan
cacat. Akan tetapi mereka tidak merinci tentang disyaratkan jantan atau betina.
Oleh karena itu, kata "syah" dalam hadits di atas, menurut bahasa
Arab dan istilah syari’at mencakup kambing atau domba, baik jantan maupun
betina. Tidak ada satu hadits atau atsar yang mensyaratkan jantan dalam hewan
kurban. Pengertian "syah" dikembalikan kepada pengertian syariat dan
bahasa Arab.
Dengan demikian, maka sah bila seseorang menyembelih
kambing betina dalam kurban dan aqiqah, walaupun yang utama dan dicontohkan
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ialah kambing jantan yang bertanduk.
Wallahu a’lam.
Distribusi Masakan aqiqah :
Setelah disembelihnya hewan aqiqah, maka para ulama
menganjurkan untuk membaginya menjadi tiga bagian. Sepertiga pertama untuk
ahlul bait (kerabat dekat) sepertiga kedua untuk diberikan kepada orang lain
sebagai hadiah, dan sepertiga terakhir untuk dijadikan sebagai sedekah.
Dianjurkan pula bahwa pemberian untuk sedekah dan
hadiah, lebih utama jika dilakukan setelah daging tadi dimasak oleh ahlulbait,
tidak dibagikan dalam keadaan masih mentah. Hal ini mengingat tidak semua fakir
miskin dalam keadaan mampu untuk memasak daging yang diberikannya, dan kalaupun
sanggup akan menambah beban mereka. Maka yang paling utama adalah meringankan
beban mereka dan memberikan kebahagiaan dan kesenangan bagi mereka.
Jumlah Hewan aqiqah :
Jumlah hewan Aqiqah untuk anak laki-laki dua ekor
sedangkan untuk anak perempuan satu ekor. Akan tetapi jika tidak mampu dua ekor
untuk anak laki-laki maka seekorpun boleh. Hal ini InsyaAllah tidak akan
mengurangi nilai Aqiqah, Asal kita jujur dan tidak berpura-pura tidak mampu.
Sebab, sebagimana tampak dalam hadist yang bersumber dari Ibnu Abbas,
Rasulullah pernah meng-Aqiqahi Hasan dan Huein masing-masing seekor kibasy.
Siapa yang Bertanggung Jawab dalam Aqiqah?
Pertama :
Kalangan Hambali dan Maliki, berpendapat bahwa yang bertanggungjawab atas
syariat aqiqah sesuai dengan khitab hadits yang telah disebutkan diatas, yaitu
orang tua laki – laki, sang ayah. Dikuatkan kembali oleh pendapat imam Ahmad
ketika ditanya mengenai seseorang yang belum diaqiqahkan oleh ayahnya bagaimana
hukumnya, beliau menjawab : kewajiban itu atas ayahnya.
Kedua :
Jika si anak memiliki harta dan mampu melakukannya sendiri, maka dia yang
bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akan tetapi jika tidak mampu dan masih
memiliki ayah, maka ayahnya yang tanggungjawab. Sementara jika ia tidak mampu
dan tidak lagi memiliki ayah, maka kewajibannya bagi sang ibu. Sebagaimana
pendapat Ibnu Hazm adhzahiri.
Ketiga :
Yang berhak mengaqiqahkan anak, adalah mereka yang bertanggungjawab dalam memberi
nafkah atas kehidupan sehari – harinya ( wali ). Tidak mesti orang tua. Seperti
yang dilakukan oleh Rasulullah saw, yang mengaqiqahkan cucu beliau Hasan dan
Husein. Karena menurut beberapa pendapat bahwa Ali kala itu sedang dalam
keadaan terhimpit. Ada yang mengatakan bahwa Ali sebelumhya memberikan hewan
aqiqah kepada Rasul untuk kedua puteranya. Yang jelas, ini merupakan pendapat
Imam Syafi’i, bahwa kewajiban aqiqah atas anak, kembali kepada orang yang
memelihara dan memberi nafkah padanya.
Keempat :
Yang bertanggungjawab atas aqiqah seorang anak, bukan ayah, bukan ibu dan bukan
orang yang memberi nafkah hidupnya. Melainkan tidak ada orang yang tertentu
yang diberikan kewajiban khusus untuk melaksanakan aqiqah. Sebagaimana di
hadits – hadits yang telah disebutkan tidak ada “ qayid “ yang jelas bahwa
kewajibannya khusus sang ayah, ibu, ataupun wali. Oleh karena itu sah – sah
saja jika yang malaksanakannya orang lain selain mereka, seperti paman, sanak
saudara atau bahkan orang asing sekalipun. Ini pendapat imam Ibnu Hajar dan
Syaukani.
Dari berbagai macam pendapat diatas, kita dapat menarik kesimpulan tidak ada
pendapat yang sepakat ditentukan oleh ulama mengenai siapa yang
bertanggungjawab dalam hal mengaqiqahkan sang anak. Maka menurut kami, yang
berhak pertama kali adalah sang ayah, kemudian wali atau orang yang
mengasuhnya, kemudian jika ada dari sanak saudaranya yang ingin
mengaqiqahkannya maka itu juga diperbolehkan.
Aqiqah bagi Orang Dewasa
Pertama :
Kalangan Hambali dan Maliki, berpendapat bahwa yang bertanggungjawab atas
syariat aqiqah sesuai dengan khitab hadits yang telah disebutkan diatas, yaitu
orang tua laki – laki, sang ayah. Dikuatkan kembali oleh pendapat imam Ahmad
ketika ditanya mengenai seseorang yang belum diaqiqahkan oleh ayahnya bagaimana
hukumnya, beliau menjawab : kewajiban itu atas ayahnya.
Kedua :
Jika si anak memiliki harta dan mampu melakukannya sendiri, maka dia yang
bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akan tetapi jika tidak mampu dan masih
memiliki ayah, maka ayahnya yang tanggungjawab. Sementara jika ia tidak mampu
dan tidak lagi memiliki ayah, maka kewajibannya bagi sang ibu. Sebagaimana
pendapat Ibnu Hazm adhzahiri.
Ketiga :
Yang berhak mengaqiqahkan anak, adalah mereka yang bertanggungjawab dalam
memberi nafkah atas kehidupan sehari – harinya ( wali ). Tidak mesti orang tua.
Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw, yang mengaqiqahkan cucu beliau
Hasan dan Husein. Karena menurut beberapa pendapat bahwa Ali kala itu sedang
dalam keadaan terhimpit. Ada yang mengatakan bahwa Ali sebelumhya memberikan
hewan aqiqah kepada Rasul untuk kedua puteranya. Yang jelas, ini merupakan
pendapat Imam Syafi’i, bahwa kewajiban aqiqah atas anak, kembali kepada orang
yang memelihara dan memberi nafkah padanya.
Keempat :
Yang bertanggungjawab atas aqiqah seorang anak, bukan ayah, bukan ibu dan bukan
orang yang memberi nafkah hidupnya. Melainkan tidak ada orang yang tertentu
yang diberikan kewajiban khusus untuk melaksanakan aqiqah. Sebagaimana di
hadits – hadits yang telah disebutkan tidak ada “ qayid “ yang jelas bahwa
kewajibannya khusus sang ayah, ibu, ataupun wali. Oleh karena itu sah – sah
saja jika yang malaksanakannya orang lain selain mereka, seperti paman, sanak
saudara atau bahkan orang asing sekalipun. Ini pendapat imam Ibnu Hajar dan
Syaukani.
Dari berbagai macam pendapat diatas, kita dapat menarik kesimpulan tidak ada
pendapat yang sepakat ditentukan oleh ulama mengenai siapa yang
bertanggungjawab dalam hal mengaqiqahkan sang anak. Maka menurut kami, yang
berhak pertama kali adalah sang ayah, kemudian wali atau orang yang
mengasuhnya, kemudian jika ada dari sanak saudaranya yang ingin
mengaqiqahkannya maka itu juga diperbolehkan.
Hukum Aqiqah
Sebagimana diungkapkan oleh Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyatul Aulad fi Al-Islam, pendapat para fuqoha tentang hukum aqiqah terbagi menjadi tiga.
Pertama adalah pendapat yang menyatakan bahwa aqiqah itu sunnah yang merupakan pendapat dari Imam Malik, Imam Syafi'i, Imam Ahmad dan Abu Tsaur.
Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa aqiqah itu adalah Wajib. ini merupakan pendapat dari Imam Hasan Al - Bashri, Al-Laits Ibnu Sa'ad dan yang lainnya. Dasar pendapat mereka adalah hadist yang diriwayatkan Muraidah dan Ishaq Bin Ruhawiah yang artinya : "Sesungguhnya manusia itu pada hari kiamat akan dimintakan pertanggungjawabannya atas Aqiqahnya seperti halnya pertanggungjawaban atas lima waktunnya"
Ketiga, pendapat yang menolak disyariatkannya Aqiqah, Ini adalah pendapat ahli fiqih Hanafiah. Mereka berdasarkan pada hadist Abu Rafi, Bahwa Rasulullah pernah berkata kepada Fatimah, "Jangan engkau mengaqiqahinya tetapi cukurlah rambunya". Namun, dari mayoritas pada fuqoha berpendapat bahwa konteks hadist tersebut justru menguatkan disunnahkan dan dianjurkannya aqiqah, sebab Rasullulah sendiri telah mengaqiqahi Hasan dan Husein. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa mengaqiqahi anak itu sunnah dan diajurkan.
Komentar
Posting Komentar